Saya mencoba memahami munculnya wacana “ Perlukah Papua Merdeka?”,
seperti ada niat dan suatu perasaan kecewa berat pada Pemerintah pusat
RI, yang mendesak dalam hati penduduk Papua lebih baik MERDEKA saja.
Mengurus dirinya sendiri lepas dari Pemerintah RI. Perasaan kekecewaan
berat, setelah RI Merdeka 70 tahun, ternyata TIDAK juga berhasil
membawakan Rakyat banyak pada kehidupan sejahtera, padahal kekayaan
bumi-alam nyaris sudah kering-kerontong diobral pada modal asing,
khususnya AS dan Jepang. Khususnya kehidupan rakyat Papua yg
bumi-alamnya kaya raya akan tambang emas, justru selama 70 tahun, tetap
saja dibiarkan terbelakang dan mungkin jatuh miskin. Mereka merasa
dianak-tirikan, mereka merasa dijajah. Dan oleh karena itu tidak aneh,
jika beberapa kelompok yang “kecewa” dengan pola kerja pemerintah
menghendaki “Papua Merdeka” saja.
Tetapi jika munculnya wacana “perlukah papua merdeka” hanya karena
konflik yang terjadi belakangan ini, saya rasa juga terlalu berlebihan.
Kejadian tersebut hanya terjadi di satu kabupaten. Bangsa Indonesia
dalam perjalanannya sudah sering terjadi “benturan” semacam ini, bahkan
lebih hebat lagi. Tetapi berkat bijaknya para pemimpin saat itu,
perpecahan tersebut bisa kita lalui dengan baik. Contoh peristiwa :
RMS,DI TII, G30S, Aceh dan sebagainya. Yang penting cari titik temu
penyelesaian yang terbaik. Daripada mendorong gerakan “Papua Merdeka”,
saya tetap lebih cenderung mencambuk Pemerintah Pusat lebih cepat
membenahi birokrasinya, sehingga bisa bekerja lebih effektif mendorong
perputaran ekonomi nasional dan berkemampuan mengangkat kesejahteraan
rakyat banyak, khususnya rakyat di daerah yg selama ini terabaikan,
termasuk Papua.
Sebagai pembelajar ekonomi politik saya melihat memang sudah terjadi
peralihan keinginan rakyat Papua, dari keinginan untuk sejahtera ke
keinginan untuk merdeka. Inilah fakta yang Pemerintah dan juga DPR coba
untuk abaikan. Karena baik Pemerintah, DPR maupun kita rakyat Indonesia
secara luas tidak ada yang menginginkan Papua lepas dari bingkai NKRI.
Kalau sampai itu terjadi, bukan saja luas wilayah dan pendapatan negara
kita tergerus, tapi juga wajah Indonesia di peta tidak akan sama lagi.
Tidak akan ada lagi gambar pulau seperti burung yang seolah mengawasi
dan mengawal Nusantara dari Timur.
Namun, dalam menyikapi keinginan yang sudah berubah tersebut
Pemerintah menjadi seperti dokter yang selalu salah kasih obat. Pasien
sakit kepala, dikasih obat sakit gigi. Pemerintah harus lebih banyak
mendengar daripada terus mendikte. Permasalahan Papua ternyata tidak
bisa diselesaikan hanya dengan Otsus dan anggaran yang dinaikkan. Mereka
perlu perhatian yang lebih. Mereka mau didengar. Oleh karenanya
Pemerintah harus selalu melakukan dialog dengan seluruh pemangku
kepentingan Papua sebagaimana yang diinginkan mereka selama ini. Menurut
hemat kami biarkan saja dialog itu terjadi agar mereka bisa bicara
lepas, dan Pemerintah tidak mendengar atau mendapatkan informasi
sepotong-sepotong. Dialog tidak pernah terjadi karena mereka ingin
dilaksanakan terbuka, Pemerintah inginnya tertutup. Terkait keinginan
untuk merdeka, sulit untuk tidak mengatakan ada tangan-tangan asing yang
bermain. Ada pendapat seorang pengamat politik, selama ada investasi
asing yang menghasilkan miliaran dollar bagi negara asal investasi
tersebut, selama itu pula dorongan untuk Papua merdeka akan selalu ada.
Presiden Jokowi dalam menghadapi Papua mencoba menawarkan pendekatan
baru, pendekatan yang lebih mendengar dan mencoba untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Tahanan Politik dibebaskan, Pers Asing bebas masuk
tanpa hambatan, Presiden akan sering kesana. Semestinya perubahan
pendekatan ini disambut secara suka cita oleh saudara-saudara kita yang
ada di Papua. Nyatanya kan tidak. Sejumlah demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa asal Papua di pulau Jawa marak terjadi selang beberapa hari
setelah kado dari Presiden tersebut. Pesan Demonya sama: Lepas dari
NKRI.
Secara politik posisi kita semakin sulit karena semakin banyak tangan
asing bermain. Lihat saja kekalahan kita di KTT Honiara beberapa waktu
lalu. ULMWP atau OPM diterima sebagai observer di KTT MSG (Melanesian
Spherehead Group). Posisi ini membuat mereka merasa naik kelas. Kita
terlalu pede, negara-negara di Pasifik Selatan akan dukung kita karena
suku Melanesia lebih banyak di kita. Jujur, Kita gagal mengkapitalisasi
Melanesia Indonesia (Melindo) yang tersebar di Papua, Maluku dan NTT
yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding di negara-negara di Pasifik
Selatan tersebut secara kumulatif.
Menurut saya, dengan telah terjadinya perubahan kehendak ini,
Pemerintah sudah harus punya Road Map baru terhadap Papua. Kita tidak
menghendaki Disintegrasi. Tantangan Pemerintah Jokowi terkait Papua jauh
lebih berat dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Untuk itu
Pemerintah harus memperbarui strategi dan langkah agar Papua tetap ada
dalam bingkai NKRI. Langkah-langkah yang diambil harus dalam frame Road
Map. Jangan sendiri-sendiri seperti sekarang ini.
lebih lanjut klik
https://membacabangsa.wordpress.com/2015/07/25/perlukah-papua-merdeka/
0 comments:
Posting Komentar