Minggu, 19 Juni 2016

Perlukah Papua Merdeka

Saya mencoba memahami munculnya wacana “ Perlukah Papua Merdeka?”, seperti ada niat dan suatu perasaan kecewa berat pada Pemerintah pusat RI, yang mendesak dalam hati penduduk Papua lebih baik MERDEKA saja. Mengurus dirinya sendiri lepas dari Pemerintah RI. Perasaan kekecewaan berat, setelah RI Merdeka 70 tahun, ternyata TIDAK juga berhasil membawakan Rakyat banyak pada kehidupan sejahtera, padahal kekayaan bumi-alam nyaris sudah kering-kerontong diobral pada modal asing, khususnya AS dan Jepang. Khususnya kehidupan rakyat Papua yg bumi-alamnya kaya raya akan tambang emas, justru selama 70 tahun, tetap saja dibiarkan terbelakang dan mungkin jatuh miskin. Mereka merasa dianak-tirikan, mereka merasa dijajah. Dan oleh karena itu tidak aneh, jika beberapa kelompok yang “kecewa” dengan pola kerja pemerintah menghendaki “Papua Merdeka” saja.
Tetapi jika munculnya wacana “perlukah papua merdeka” hanya karena konflik yang terjadi belakangan ini, saya rasa juga terlalu berlebihan. Kejadian tersebut hanya terjadi di satu kabupaten. Bangsa Indonesia dalam perjalanannya sudah sering terjadi “benturan” semacam ini, bahkan lebih hebat lagi. Tetapi berkat bijaknya para pemimpin saat itu, perpecahan tersebut bisa kita lalui dengan baik. Contoh peristiwa : RMS,DI TII, G30S, Aceh dan sebagainya. Yang penting cari titik temu penyelesaian yang terbaik. Daripada mendorong gerakan “Papua Merdeka”, saya tetap lebih cenderung mencambuk Pemerintah Pusat lebih cepat membenahi birokrasinya, sehingga bisa bekerja lebih effektif mendorong perputaran ekonomi nasional dan berkemampuan mengangkat kesejahteraan rakyat banyak, khususnya rakyat di daerah yg selama ini terabaikan, termasuk Papua.
Sebagai pembelajar ekonomi politik saya melihat memang sudah terjadi peralihan keinginan rakyat Papua, dari keinginan untuk sejahtera ke keinginan untuk merdeka. Inilah fakta yang Pemerintah dan juga DPR coba untuk abaikan. Karena baik Pemerintah, DPR maupun kita rakyat Indonesia secara luas tidak ada yang menginginkan Papua lepas dari bingkai NKRI. Kalau sampai itu terjadi, bukan saja luas wilayah dan pendapatan negara kita tergerus, tapi juga wajah Indonesia di peta tidak akan sama lagi. Tidak akan ada lagi gambar pulau seperti burung yang seolah mengawasi dan mengawal Nusantara dari Timur.
Namun, dalam menyikapi keinginan yang sudah berubah tersebut Pemerintah menjadi seperti dokter yang selalu salah kasih obat. Pasien sakit kepala, dikasih obat sakit gigi. Pemerintah harus lebih banyak mendengar daripada terus mendikte. Permasalahan Papua ternyata tidak bisa diselesaikan hanya dengan Otsus dan anggaran yang dinaikkan. Mereka perlu perhatian yang lebih. Mereka mau didengar. Oleh karenanya Pemerintah harus selalu melakukan dialog dengan seluruh pemangku kepentingan Papua sebagaimana yang diinginkan mereka selama ini. Menurut hemat kami biarkan saja dialog itu terjadi agar mereka bisa bicara lepas, dan Pemerintah tidak mendengar atau mendapatkan informasi sepotong-sepotong. Dialog tidak pernah terjadi karena mereka ingin dilaksanakan terbuka, Pemerintah inginnya tertutup. Terkait keinginan untuk merdeka, sulit untuk tidak mengatakan ada tangan-tangan asing yang bermain. Ada pendapat seorang pengamat politik, selama ada investasi asing yang menghasilkan miliaran dollar bagi negara asal investasi tersebut, selama itu pula dorongan untuk Papua merdeka akan selalu ada.
Presiden Jokowi dalam menghadapi Papua mencoba menawarkan pendekatan baru, pendekatan yang lebih mendengar dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tahanan Politik dibebaskan, Pers Asing bebas masuk tanpa hambatan, Presiden akan sering kesana. Semestinya perubahan pendekatan ini disambut secara suka cita oleh saudara-saudara kita yang ada di Papua. Nyatanya kan tidak. Sejumlah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa asal Papua di pulau Jawa marak terjadi selang beberapa hari setelah kado dari Presiden tersebut. Pesan Demonya sama: Lepas dari NKRI.
Secara politik posisi kita semakin sulit karena semakin banyak tangan asing bermain. Lihat saja kekalahan kita di KTT Honiara beberapa waktu lalu. ULMWP atau OPM diterima sebagai observer di KTT MSG (Melanesian Spherehead Group).  Posisi ini membuat mereka merasa naik kelas. Kita terlalu pede, negara-negara di Pasifik Selatan akan dukung kita karena suku Melanesia lebih banyak di kita. Jujur, Kita gagal mengkapitalisasi Melanesia Indonesia (Melindo) yang tersebar di Papua, Maluku dan NTT yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding di negara-negara di Pasifik Selatan tersebut secara kumulatif.
Menurut saya, dengan telah terjadinya perubahan kehendak ini, Pemerintah sudah harus punya Road Map baru terhadap Papua. Kita tidak menghendaki Disintegrasi. Tantangan Pemerintah Jokowi terkait Papua jauh lebih berat dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Untuk itu Pemerintah harus memperbarui strategi dan langkah agar Papua tetap ada dalam bingkai NKRI. Langkah-langkah yang diambil harus dalam frame Road Map. Jangan sendiri-sendiri seperti sekarang ini.

lebih lanjut klik
https://membacabangsa.wordpress.com/2015/07/25/perlukah-papua-merdeka/

0 comments:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net